Monday, August 10, 2020

Pulang, Setelah 4 Bulan

Kabar gembira untuk kita semua. Nggak deng. Aku aja ini. Akhirnya pulang! 5 Agustus 2020! Catat! Tidak direncanakan. Tidak keluar uang. Tidak khawatir bercampur (?) dengan orang nggak dikenal. Pokoknya serba dadakan. Kok, bisa?

Seminggu sebelom Idul Adha yuyur udah merencanakan pulang. Lebih tepatnya dijemput. Memaksakan diri banget melihat kondisi yang nggak segera membaik. Aku khawatir aja kalau kedepannya justru semakin susah buat bepergian. Aku yang terlalu parno.

Kemudian kabar datang: ada tetangga reaktif rapid test Covid-19. Hiyakkk dess! Melunturkan rencanaku. Bisa aja pulang kan orangnya isolasi di rumah dinas wali kota. Namun!! Bukan lulu namanya kalau tidak parno. Yha sudah Idul Adha berdua aja sama penjaga kos. Mantul.

Baca: Kamu Butuh Test Covid-19? Halodoc Aja!

Awal bulan Agustus mendapat kabar akan diadakan swab test bagi seluruh pegawai. Wow Alhamdulillah banget. Fyi swab dilaksanakan di Semarang. Karena memang tujuan awal swab test ini untuk mencoba laboratorium ber-PCR. Lab kantor Semarang direncanakan untuk menambah kapasitas uji swab pemerintah. Khususnya wilayah Semarang.

Aku excited dong huhu apakah aku harus pulang? Mungkin ini yang namanya semesta berkonspirasi. Rabu (05/08) sampai Jumat (07/08) memang jadwalku wfh. Artinya ngga perlu hadir ke kantor untuk presensi. Cukup melalui aplikasi dan ngisi kerjaan by sistem aja. Aaakkkhhh ini baru work from home sesungguhnya!

Gimana rasanya swab test?

Ini mau diceritakan di postingan tersendiri kok ya nggak ada kesan mendalam. Biarpun udah liat video pengambilan kayaknya sakit. Diceritakan rekan kerja yang duluan: hawanya pengen lepas masker aja. Ada yang sampe keluar darah (???) kan menciutkan nyali ya. Temen-temen tuh lebih cemas di "sakitnya" saat swab dibanding menunggu hasil test-nya sendiri. Kocyaak emang.

Swab test yang aku lakukan ini menggunakan reagen apa gatau maap aku memang tidak niat mencari tahu.

Biasa aje kan ekspresinya? Ya emang

Jadi prosesnya seperti ini: kami diminta mengisi form assessment. Standar kalo ngga salah sesuai edaran Kemenkes. Isinya ada keluhan batuk/flu/demam nggak? Suhu badan berapa? Pernah kontak dengan pasien Covid-19? Melakukan perjalanan ke negara terjangkit? - Btw pertanyaan terakhir menurutku udah kurang relevan deh. Sebagian besar wilayah Jateng keliatannya zona merah. 

Selain form, kami juga diminta mengumpulkan fotokopi KTP. Fungsinya jika (nauzubillah jangan sampe) ada yang positif bisa ditrack. Petugas yang melakukan berasal dari Labkesda Jawa Tengah.

Setelah lengkap kami diberi tools untuk test. Terdiri dari 2 isinya: cotton bud versi lebih panjang dan botol untuk wadah sampel. Cotton bud ini ukurannya kira-kira 2 ruas jari. Apakah intimidating? Enggak. Biasa aja ya selayaknya cotton bud hanya ukurannya agak lebih gede.

Mengantrilah kami. Aku dapet nomor antrian 5. Deg-degan? Sedikit, sih. Lebih ke liat petugas ber-APD lengkap tuh selalu mindblowing. Huft.

Saat giliranku, proses pengambilan sampel tergolong singkat. 5 menit lah. Aku diminta duduk di kursi yang disediakan. Kepala menengadah hampir 90 derajat. Ambil nafas dulu sebanyak-banyaknya. Saat cotton bud dimasukkan ke hidung harus tahan nafas, ya! Agak PR untukku yang nafas pendek. 

Aku merasa sensasinya mirip ngupil dengan kedalaman lebih aja WKWK. Nggak yang dimasukkan banget kayak bayangkanku. Yes I always create worst scenario. Disodok santai begicu. Maap tidak menemukan bahasa yang cucok.

"KITA TUH HAPPY AJA KOK!"

Udah deh, kelar. Berhubung hidung masih nyambung ke mata jadilah agak berair dikit. Dikira nangis padahal ya kagakkkk. Emang memicu aja untuk keluar air mata.

Hasilnya di akhir pekan udah keluar. Alhamdulillah semua pegawai di kantor negatif. Nggak sia-sia kan menahan diri untuk #DirumahAja? Trust me, kesehatan semakin hari semakin mahal harganya.

Baca: #StayAtHome during Covid-19 Pandemic

Setelah swab, kami makan siang. It was also (if I am not mistaken) pertama kalinya aku makan diluar sejak pandemi. Apakah tempat makannya menerapkan protokol kesehatan? Auk amat. Modal masker apa bisa dikatakan seperti itu? I don't think so.

Dan waktu yang ditunggu pun datang: PULANG. Aku nggak ngabarin orang rumah sama sekali. Truth to be told I was scared if my plan failed. Kan sedih. Ya akhirnya dadakan aja ala-ala surprise. Hahaha.

Am I happy?

Yes. To breath in a city I grow up definitely creates certain happiness. Di kepala udah merancang berbagai rencana jahat berkeliling kota. Sayang nggak didukung oleh semesta. Hujan + lagi-lagi lebih pilih kesehatan. Yang dilakukan akhirnya jalan kaki dan bersepeda. Jalan kaki setelah sekian lama!

Meriah menyambut Hari Kemerdekaan

Tembok ijo itu SMA aku
Tempat praktikum pada masanya

Atau justru baru pertama kali ya diniatin beneran jalan kaki tanpa ada embel-embel: jalan kaki ke sekolah, jalan kaki pulang kantor. Senanggg! Wilayah pinggiran dimana aku tinggal ternyata banyak perubahan. Toko dan tempat makan baru bermunculan. Paling amazed sih dengan adanya traffic light di perkampungan.

Hmm, should I say perkampungan? Jadi ada perempatan jalan yang selaluuuu padat. Ngeri banget disitu gak ada yang mau ngalah. Ruwet, kan? Dimana kah itu? Perempatan jalan Kanfer-Tusam-Meranti. Deket masjid Al-Muhajirin (kalo ga lupa namanya lol). Aku yang "WAAHHHH" akhirnya nggak ruwet lagi. Jalanan pun mulussss. Hebat memang pembangunan di Kota Semarang.

Bersyukur kerinduan pada kota ini sedikit terobati. I feel like I could breath more :"))

Bonus aku yang cantik karena pake masker



Post a Comment

Halo! Terimakasih sudah membaca. Setiap komentar masuk akan dimoderasi. Untuk komentar dengan anonim tidak akan saya balas, ya. Yuk biasakan menjadi diri sendiri di dunia maya!