Saturday, February 18, 2023

When Sorry is NOT Enough

Sorry, thank you, please.
Versi Indonesia: maaf, terima kasih, tolong.
Sudah banyak psikolog, praktisi tumbuh kembang anak, dsb menggaungkan 3 kata ini. Sering disebut pula dengan 3 magic words. Begitu juga dengan aku. Aku merasa cukup mudah untuk mengutarakan ketiga kata ini ketika memang dibutuhkan.


Contohnya, mengucapkan terima kasih ketika mendapatkan bantuan dari orang lain. Mengucapkan maaf jika melakukan kesalahan pada orang lain. Dan meminta tolong ketika tidak bisa mengerjakan sesuatu sendiri dan butuh bantuan orang lain. Meskipun pada kenyataannya yang ketiga ini agak sulit untuk diucapkan karena merasa nggak enakan merepotkan orang lain. Yes, wong Jowo trait.

Untuk kata "maaf" justru aku merasa terlalu sering mengucapkannya. Sampai menemukan buku bahwa kebanyakan minta maaf tuh bisa membuat kita dianggap "gampangan" atau pushover istilah gaulnya. Dan karena itu aku mulai berusaha menempatkan kapan waktu yang tepat untuk meminta maaf.

Ngomongin minta maaf juga, belakangan aku observasi orang di sekitarku ketika minta maaf. Ada satu kejadian dimana aku janjian dengan orang pada jam 08.00 sebut saja begitu. Sudah disepakati, namun pada kenyataannya ybs (yang bersangkutan) muncul 08.30. Apakah orang tersebut minta maaf? Ya. Redaksionalnya kurang lebih seperti ini tapi nggak plek ya.

"Duh maaf ya aku telat lagi. Padahal aku udah berangkat pagi loh dari rumah, tapi anakku nempel terus sama aku."

Me, being someone who tried her best to on time, just offered a smile. And shut my mouth. But deep in my heart, it was rage all along. Yes, she said sorry clearly enough. But why is it that I don't feel enough? Aku tidak merasa mendapatkan permintaan maaf yang "beneran".

Kok gitu, ya? Of course I tried to analyze it. Ini bakal subjektif banget sih, but at least I find the answer. Dan masuk akal dalam logika berpikirku.

1. Tidak tulus dari hati terdalam

Sincerity. As it said. Kita bisa menilai mana orang yang tulus dan mana yang engga. Dalam kasus ini, ketika ybs meminta maaf, dia tidak menatap mataku atau berfokus sepenuhnya ke aku. Hanya dengan masuk ruangan, meletakkan tas sambil bergumam minta maaf. Well, I don't feel the sincerity here :')

2. Tidak ada penyesalan

Nada penyesalan dan tidak tuh beda ya. Di nada penyesalan tone-nya sedikit turun, ada rasa khawatir, mimik muka pun mendukung dan menampakkan penyesalan. Again, disini tidak kutemukan. Seakan terlambat itu hal biasa dan aku harus memakluminya.

3. Tidak ada perubahan perilaku

Di poin ini bisa dilihat setelah beberapa kali berinteraksi ya. Bukan hanya sekali bertemu lalu udah. Jika ternyata pada pertemuan-pertemuan selanjutnya dia tetap terlambat. Well...apalah arti maafmu itu. Tandanya kata "maaf" yang terlempar hanya basa basi atau formalitas belaka.

4. Tidak merasa bersalah

Bisa dilihat dengan kalimat maafnya. Apakah dia menyalahkan sesuatu yang lain? Misalnya terlambat karena jalanan macet? Karena anaknya nangis? Berjuta alasan bisa dilontarkan ketika kita minta maaf. Jika memang merasa bersalah, ybs nggak akan mencari objek lain untuk disalahkan. Big no. Karena itu artinya dia merasa dirinya nggak salah, yang salah adalah orang lain dalam hal ini anaknya atau benda (jalanan, mereka bisa apa sih?).

Well, I think you got the idea. Aku menyarankan ketika meminta maaf, hindari keempat hal diatas ya. Dan bila perlu, tambahkan 1 hal lagi. Tanyakan kepada orang yang kamu mintakan maaf itu, "Aku bisa melakukan apa untuk memperbaiki kesalahanku?". If it was in my case, ya aku jawab: kedepannya jangan terlambat lagi ya. Atau bisa mengirim kabar lho sebelumnya kalau sekiranya bakal terlambat.

Simpel ya, tapi mungkin nggak banyak orang yang kepikiran. Ini mah karena aku over thinker aja jadi bisa bikin 1 postingan? :)) I hope you got my point!

Post a Comment

Halo! Terimakasih sudah membaca. Setiap komentar masuk akan dimoderasi. Untuk komentar dengan anonim tidak akan saya balas, ya. Yuk biasakan menjadi diri sendiri di dunia maya!