Thursday, October 22, 2020

Mendadak ODP

Orang Dalam Pengawasan. Sekarang sebutannya apa ya? Ganti istilah malah ngga inget. Ih, kok bisa ODP gimana ceritanya?


Alkisah pada suatu hari nama saya diusulkan menjadi peserta pelatihan. Entah dapet ilham darimana pelatihannya diadakan offline (luring) di suatu hotel. Rada amaze juga ya kok, bisa? Cuma seminggu aja. Padahal diklat yang sebulanan itu dijabanin online (daring) aja kuat.

Baca: Diklat Online Selama Sebulan, Rasanya?

Walau nggak memungkiri ada sisi hati terdalam saya yang seneng, “Wah akhirnya bisa keluar rumah!” - meskipun itu dalam konteks kerja. Kan nggak 24 jam pelatihan toh, pasti ada waktu istirahat untuk melipir dikit? Bahkan ada keinginan untuk mampir ke rumah. Alhamdulillah masih dikasih akal sehat jadi niat itu diurungkan.

Ada 60 peserta yang dibagi menjadi 2 kelas. Tiap kelas berisi 30 peserta. Nah, persyaratan untuk bisa mengikuti adalah: hasil swab negatif. Baiklah, swab itu dadakan saya masih menghadapi konsumen terpaksa undur diri. Alhamdulillah negatif. Ikutlah berangkat.

Fyi aja untuk swab mandiri saya menyarankan di klinik dibandingkan rumah sakit. Karena klinik relatif sepi. Di rumah sakit lebih riskan karena disitu orang sakit berkumpul, kan?

Intermezzo dikit yak barangkali ada yang membutuhkan. Saya menelepon beberapa klinik di Solo yang melayani uji swab. Berikut detail harganya:

1. Prodia 
Biaya Rp 1.025.000 + Rp 6.000 (materai) total Rp 1.031.000. Reservasi sehari sebelumnya. Hasil keluar kurang lebih 3 hari.

2. Cito 
Biaya Rp 1.900.000 hasil keluar kurang lebih 2 hari.

3. Budi Sehat
Biaya Rp 1.750.000 hasil keluar kurang lebih 5 hari.

Meskipun pemerintah udah mengatur harga tertinggi Rp 900.000 ternyata di lapangan nggak begitu ya, gaes. Ada biaya lain yang ditambahkan. Untuk prodia sih tertulisnya Rp 125.000 itu untuk biaya konsultasi dokter.

***

Back to pelatihan. Dalam peraturan memang sudah tercantum: peserta harus karantina di hotel. Alias nggak boleh keluar. Lalu tidak diperkenankan ada peserta tambahan selain yang tercantum di surat pemanggilan.

Tapi ya begitulah ajaibnya. Ada aja yang menyelisihi aturan. Pertama, ada peserta yang memilih PP dibanding menginap. Kedua, ada peserta tambahan yang masih menunggu hasil swab. Di saat yang lain udah mengantongi status negatif eh ini bisa ikut sebelum hasil keluar. Dan ternyata disinilah masalah itu timbul.

Hasil swab yang keluar menunjukkan positif. I feel betrayed coyyy. Dan yang bersangkutan nggak merasa karena memang tanpa gejala. Sehat wal afiat dilihat secara kasat mata. Selama pelatihan pun sempat presentasi, aktif nanya ini itu. Namun…. :’)

Sayangnya saya mendengar ini nggak dari panitia langsung. Justru berawal dari kabar burung. Ngga enak, kan? Malah menimbulkan spekulasi. Baru di hari berikutnya panitia klarifikasi. Semua harus swab. Rasanya? Hm tanyalah pada Mang Oleh. 

Saya balik hari Jumat. Tapi ngga langsung swab saat itu juga. Berdasarkan rekomendasi sih antara 3-5 hari setelah kontak terakhir. Ya udah saya pilih hari Senin. 

Yang saya rasakan selama rentang waktu menunggu adalah…

Nggak tenang! Asli ya, ketenangan hidup tuh mahal banget harganya. Pikiran saya menari kesana kemari. Mau dihentikan nggak tau gimana caranya. Saya yang tinggal di kos dengan kamar mandi umum ini mulai bertanya.

“Gimana ya kalau positif?”

“Kalau nularin yang lain?”

“Tanggapan ibu kos gimana ya? Apakah aku akan diusir?”

“Apakah masyarakat sekitar bakal menganggapku suatu hal yang harus dibasmi?”

Jujur, lebih banyak mikir dampak ke orang lain daripada ke diri sendiri. Kata “at your own risk” tuh nggak berlaku di masa pandemi ini. Semua bisa kena risikonya sekali aja lepas kendali :”) stress berat itu tuh. Alhamdulillah masih ada temen yang menguatkan. Yha meskipun belum punya pasangan #ehgimana.

Saya nggak bisa membayangkan gimana dengan temen yang udah berkeluarga. Harus isolasi mandiri dulu. Menjauh dari anak untuk sementara waktu. Benarlah di masa pandemi ini paling bener ya membatasi pergerakan dulu. Menengok dari China yang Wuhan sepenuhnya ditutup. Memang berat pada masa itu. Tapi akhirnya ekonomi pun bisa membaik, kan?

Ya tapi kamu kan enak, kerjanya bisa remote.

Iya, sih. Ternyata memang banyak privilege yang saya dapatkan. Entah situasi seperti apa yang dirasakan orang diluar sana. Kadang saya merasa individualis ajalah yang penting diri sendiri sehat. Orang yang ngga peduli protokol kesehatan saya angkat tangan. Eh ya ga bisa gitu kan. Kena juga dampaknya ke orang lain. Huhuhu I feel helpless during this time. Satu-satunya yang bisa dilakukan ya seperti kata ibu saya: minta pertolongan Allah. I’ve done my part. Let Allah do the rest. Ini masa dimana iman diuji, percaya nggak bahwa bersama kesulitan ada kemudahan? :”)

Alhamdulillah hasil saya keluar pada Rabu dan dinyatakan negatif. YaAllah rasanya beban tuh keangkat. Jadi enteng euy! Semoga saya nggak akan merasakan hal seperti ini lagi. Let’s stay alive, guys.

1 comment

  1. Alhamdulillah kalau negatif. Semoga selalu sehat Lulu..

    Ini kalau kejadiannya begini yg salah sih panitianya, harusnya strick dengan aturan, ga boleh ada peserta susulan begitu ya.. Coba kalau Jd klaster penyebaran, siapa yg mau tanggung jawab?. #ikutKesel

    ReplyDelete

Halo! Terimakasih sudah membaca. Setiap komentar masuk akan dimoderasi. Untuk komentar dengan anonim tidak akan saya balas, ya. Yuk biasakan menjadi diri sendiri di dunia maya!