Friday, August 02, 2019

After Graduation Story: Bicara Tentang Pernikahan

Waw perlu 6 bulan setelah postingan after graduation story yang kedua. Untuk topik ini agak berat buat saya. Ada banyak pertimbangan sebelum melangkah kesana. Mulai darimana, ya?


Mungkin dari awal alasan kenapa saya mikir banget tentang pernikahan ini. Nggak lain dan nggak bukan karena kondisi keluarga. I cannot say my family is a happy family. Banyak konflik yang terjadi. Iya, setiap keluarga punya masalahnya masing-masing.

Baca: When I (or You) Get A Chance To Be Parents

But in my case I have a family that I would never tell the world about it. And it also makes me doubt and think a lot how I want to get married, what kind of a man will be, where do I have to position myself later when we became partner. Etc, Etc.

Benar kata orang, ketika dihadapkan pada sesuatu yang buruk dan diluar dugaan, maka dengan sendirinya akan ada banyak pertimbangan yang harus dipikirkan. List of "what if" bertambah panjang. Jeleknya: kebanyakan mikir. Bagusnya: nggak gegabah dalam mengambil keputusan.

*** 

Dari situ saya belajar bahwa milih pasangan itu nggak bisa sembarangan. Butuh pertimbangan A sampai Z. meski kata kakak saya sih utamain agamanya. 

“Lah situ kan belom nikah” - ceritanya ngeyel. Dan disamber dengan “Ya kan pengalaman temen-temenku”. OK dude.

Kenapa saya memutuskan nulis ini sekarang yhaa...mungkin memang udah saatnya? Pertama sih ngeliat banyak temen yang udah punya pasangan. Entah itu pacar ataupun suami. Seakan-akan memamerkan kepada dunia "Hai, aku sudah tidak jomblo lagi. Aku sudah menyempurnakan separuh agamaku. Kamu, kapan?"  

Kapan, ya?

Ngomongin soal target nikah sih saya pernah nulis taun ini. Pertimbangannya karena saya lulus tahun 2018. Trus ngerasain kerja dulu deh gimana, selama setahun. Baru setelah menemukan ritme “I Live Alone” merasa udah pantes nikah.

Baca: Baper Pengen Nikah Muda?

Kenyataannya?? Yha tentu saja tidak semudah itu, Ferguso.

Kata pepatah makin banyak tahu makin takut untuk maju memang benar adanya. (Ehm coba siapa yang ngomong ini ya? Entahlah). Setelah ngerti dikit, dikiiit banget persiapan nikah ini. Mungkin ada beberapa hal krusial yang harus saya ingat.

1) Sekufu

Sekufu itu luas banget ya. Intinya sih yang nggak njegleg banget dengan kehidupan saya. Gap antara saya dan dia yang entah siapa itu ngga terlalu jauh. 

Buat saya, sekufu itu wajib hukumnya di: agama. Ngga bisa ditawar. Agama ini bukan hanya di KTP aja. Secara praktiknya ya harus jalanin juga. Nggak, saya nggak muluk-muluk pengen yang “keliatan” kaya Muzammil Hasballah. Lah ngaca dong kelakuan sekarang kaya gimana? Saya amat sangat sadar akan kualitas diri sendiri.

Baca: Catatan Penting dari Muzammil Hasballah untuk Penghafal Al-Qur'an

Cukup yang bisa menuntun. Bukan saya yang nuntun. Yang ada malah diblangsakin dong yha kan jangan ya. Mau dibawa kemana coba keluarga kami nantinya?

Baca: Jangan Lupakan Keluargamu

Kemudian sekufu dalam keingintahuan. It will be nice if pasangan saya nanti punya rasa keingintahuan akan ilmu yang besar. Bukan kepo tentang kehidupan orang lain. Soalnya saya suka banget diskusi random. Bisa dari kpop sampai kenapa banyak orang Korut melarikan diri ke Korsel? Kenapa rakyat +62 gampang banget ngehujat orang di internet? Dan masih banyak kenapa lainnya.

Rasanya tuh kayak setiap hari bakal ada yang bisa diobrolin. Ngga kehabisan bahan omongan meski hal remeh temeh sekalipun. Even small talks can grow us closer and stick each other hehe.  

2) Se-visi dan se-misi

Kamu nikah yang dicari apa, sih? Boleh saya jawab: ketenangan. Saya nggak merasa dengan menikah berarti kita memiliki pasangan kita. Bukankah apa yang ada di diri kita ini sekarang pinjaman? Even our body. We have NOTHING. Akan ada masanya semua ini diminta untuk dikembalikan.

Lalu ketenangan macam apa? Hm, mungkin ini subjektif ya. Saya udah merasa nggak aman dengan pandangan mata laki-laki. Saya udah merasa nggak aman ketika di-catcall dengan lawan jenis. Walaupun itu anak kecil. Sedih ngga sih anak usia SD se-adik saya itu udah bisa catcalling? Panggilan iseng minta nomer hp itu, selama bikin nggak nyaman bisa dikategorikan dalam catcalling, bukan?

Ya intinya apa ya, pengen aja oh udah tenang. Ada nih yang bakal mendampingi saya. Di saat susah maupun sedih. Ada nih yang bakal selalu nge-support kita. Ngga ngejudge. Mau mendengarkan apa isi hati kita. It’s precious, you know.

PENGENNYA SIH YA GITU. Tapi kan niat orang nikah beda-beda ya. Mungkin ini udah saatnya juga saya memikirkan: emang visi misi nikah apa? Perlu? Ya perlu lah. Organisasi kampus untuk setahun aja perlu visi misi. Apalagi nikah yang harapannya sekali aja seumur hidup. Masa ngga jelas konsepnya mau dibawa kemana?

3) We are partner

No, I didn’t ask for equality. Pada dasarnya memang porsi laki-laki dan perempuan udah berbeda. What I mean with partner is: ngga ada yang merasa “lebih”. Lebih banyak pendapatannya, lebih pintar, lebih berkuasa, lebih ini dan lebih itu lainnya. 

Ya kita itu partner. Saling melengkapi satu sama lain. Bukan menunjukkan siapa yang “lebih”. Mungkin emang ada yang dominan, bukan berarti melakukan pemaksaan. We’re going to talk heart to heart. Ngga ngotot satu sama lain. Be reasonable. Aduh kemudian saya baper LOLOLOLLLL anaknya gampang baperan. 

The best partner sih yang bisa diajak terbuka dalam hal apapun. Perasaan, perhatian, keuangan. Ada yang mengganjal ya diutarakan. Bukan didiamkan dan justru membuat bom waktu. That's a NO NO.

***

Actually there's a lot I can say about marriage. Ketakutan macam apa, keraguan yang bikin maju mundur. Perkara boleh nggak perempuan yang "meminta" untuk dinikahi. 

Semakin merasa berumur, merasa harus banget menilai kualitas lawan jenis dengan baik. Nggak bisa perkara aku suka sama kamu ayo kita nikah hmm not as easy as that, gurl.

Oh tetiba saya merasa ini ditujukan untuk suami masa depan. Halo, kamu dimana?

2 comments

Halo! Terimakasih sudah membaca. Setiap komentar masuk akan dimoderasi. Untuk komentar dengan anonim tidak akan saya balas, ya. Yuk biasakan menjadi diri sendiri di dunia maya!