Di postingan ini saya coba berbagi pengalaman menjaga kesehatan mental. Atau menyembuhkan sakit mental, ya? Karena akhirnya saya memutuskan untuk ke psikolog. Sengaja menuliskannya agar masyarakat bisa menerima bahwa datang ke psikolog/psikiater bukan hal memalukan. Saat kita sakit gigi, bertanya dimana dokter gigi terdekat nggak tabu, kan? Seperti itu juga yang saya inginkan ketika kita bicara tentang psikolog/psikiater.
Saya pun baru sadar dengan kesehatan mental sejak awal bekerja. Pengaruh dari pertama kali hidup sendiri. Harus banget mengenali diri sendiri. Sedikit ironi sih ya. Masa hidup "bersama" puluhan tahun ternyata masih belum kenal? Well, that's the fact.
Saya mengobservasi (?) diri sendiri ketika berhadapan dengan orang tertentu.
Ketika dihadapkan dengan tekanan.
Ketika menjalin hubungan romantis.
Ketika bertemu konflik.
Dan ketika harus berdiri diatas kaki sendiri.
Beragam kejadian diatas menimbulkan efek keluarnya sifat saya yang selama ini belum pernah muncul. Saya saat sendiri rasanya tidak se-ceria saya di hadapan banyak orang. Ada hal-hal yang memang muncul pada kondisi tertentu saja.
Saya memutuskan mencari bantuan psikolog. Karena masa pandemi, akhirnya dengan terpaksa konseling dilakukan virtual. Saya mulai merasa nggak nyaman dan takut menjadi "sampah" ketika bercerita dengan teman terdekat. Saya nggak mau mereka merasakan emosi negatif dan justru terpengaruh.
Lalu, apa yang dilakukan oleh seorang psikolog selain mendengarkan curahan hati? Apa perbedaannya dengan bercerita ke teman dekat?
Kalau kamu ragu datang ke psikolog karena bingung mau mulai darimana? Tenang aja. Mereka punya cara sendiri kok untuk membuat kamu terbuka. Dengan mengajukan pertanyaan. Jika kamu nggak paham maksud pertanyaannya pun bisa bertanya ulang dan psikolog dengan senang hati menjelaskan dengan bahasa yang mudah kita pahami.
1) Tidak menyalahkan/membenarkan
Saya cenderung mencari kebenaran dalam setiap perilaku. Maka ketika "bercerita" seringkali endingnya "Bener nggak sih mbak kayak gini tuh?" - ternyata ya nggak lantas dicap benar atau salah. Justru ditanya dulu "Kamu nyaman nggak dengan hal seperti itu? Apakah terganggu selama ini?"
Barulah ketika tahu latar belakang kenapa melakukan A-Z akan dielaborasi lebih lanjut.
2) Memvalidasi seluruh emosi yang dirasakan
"Alaah palingan kamu cuma baper!" - ada yang curhat sama temen justru dapet komentar macem ini? Males gak sih? Hahaha. Psikolog (yang saya temui ya) nggak pernah sekalipun komentar seperti itu. Atau komentar bernada mengecilkan emosi saya. Saat saya bilang saya merasa jahat karena suatu hal, pasti yang pertama dilakukan akan memvalidasinya. Mengakui bahwa emosi itu macam-macam dan wajar aja muncul.
3) Menguraikan kemungkinan penyebab
Berdasarkan datalah tentunya. Bukan sotoy aja. Kalo curhat ke temen kan "pengalamanku sih.." atau "menurutku sih..." dan ada bias sebagai temen kan. Di psikolog ya disambungin ke teori psikologi.
4) Memberikan terapi sesuai keluhan yang dirasakan
Nah! Ini bedanya baca buku doang sama dateng langsung ke psikolog. Selama ini saya kira cukup tau beberapa terapi psikologi sederhana. Misal gratitude journal, butterfly hug hayo siapa yang pernah denger? Ternyata masih banyak banget lho terapi yang bisa dilakukan. Lagi-lagi tergantung apa keluhan dan penyebabnya. Udah seberapa "dalam" kerusakan yang disebabkan. Semakin lama keluhan tersebut diabaikan akan semakin menumpuk. Dan di satu titik bisa menjadi bom waktu.
Kurang lebih prosesnya seperti ini (sumber: instagram @anxietyjosh)
Ada terapi yang diberikan saat konseling (pada saat itu) dan ada pula yang diberikan sebagai tugas :)) jujur sih setiap habis sesi konseling ada rasa ringan di pundak. Dan di hati. Seringnya mata basah dan hidung bengek. Iya, nangis sepuasnya. Hahaha.
Sejauh ini sudah 4 sesi konseling terlewati. Dampaknya? Bisa menulis postingan ini :) saran saya jika memang udah nggak bisa menanggung sendiri lebih baik segera cari pertolongan dari ahlinya. Daripada menunggu parah. Ciao, semoga kita semua bisa sehat jiwa raga ya!
Setuju Lulu, masih banyak yang menganggap remeh soal kesehatan mental ini, alhamdulillah kalau sudah menemukan tempat yang tepat ya
ReplyDeleteTerima kasih sharing ya, Lulu.. Setuju sekali bahwa kita harus jujur terutama ke diri sendiri ttg apa yg terjadi pada kita. Mencari dukungan dari profesional samasekali bukan hal tabu.
ReplyDeleteAamiin.. Semoga kita semua senantiasa sehat jiwa dan raga, ya. Bagaimana pun kalau curhat ke ahlinya insyaallah memang akan lebih terbantu daripada ke orang awam.
ReplyDeleteAlhamdulillah Lulu jika sudah menemukan jalan untuk berkonsultasi ke ahlinya biar segera diketahui apa penyebab ganjalan dan cara mengatasinya ya..semangat...
ReplyDeleteIya sih mbak bener, kadang kalau curhat sama temen kita suka dibilang lebay atau gimana gtu dan cenderung mencari pembenaran atas diri kita.
ReplyDeleteSemoga mbak Lulu senantiasa sehat yaa..
Syukur alhamdulillah ya Lulu kalau sudah menemukan problem solving untuk mengurai permasalahan berat yang saat ini dihadapi. Lega ya selepas sesi konseling, memang paling pas kalau ketemu ahlinya untuk berkonsultasi gini.
ReplyDeleteDuh, jadi berpikir. Yuni apa begitu ya. Kalau dicurhatin teman apa suka nyeletuk, ah kamu cuma baper. Kalau iya, meski diubah nih.
ReplyDeleteTapi benar sih. Kalau di tengah masyarakat, ketika kita mengunjungi psikolog jadi terlihat begitulah. Padahal nggak semuanya begitu.
Alhamdulillah, sudah lebih lega ya, LuLu setelah konseling dgn psikolog. Semoga pelan2 bisa membukakan kasadaran atas solusi permasalahannya yaa
ReplyDeleteTernyata memang kudu cari bantuan kalo udah merasa aura yang berbeda ya. Biasa ceria mendadak jadi pendiam gitu. Syukur lah sudah bisa konseling dengan psikolog yang enak diajak bicara
ReplyDelete