Membaca sudah berkali-kali saya tuliskan dalam cv saya sebagai hobi. Tanpa menyadari bahwa sebenarnya, hobi ini masih ambigu. Membaca apa? Membaca koran? Novel? Tweet orang lain? Status facebook? Atau membaca pikiran? *eaaa*. Banyak sekali. Dulu, saya sering sekali beranggapan bahwa saya adalah bibliophile. Sebutan bagi orang yang menyukai dan mengoleksi buku. Kenyataannya? Tidak. Saya "hanya" mencintai novel. Setengah mati, haha. Kalau saya sudah bertemu dengan novel, jangan tersinggung ketika saya mengabaikan lingkungan sekitar. Sebegitu cintanya. Saya juga bisa dibilang amat sangat jarang membaca buku selain novel. Bahkan seingat saya nyaris 99% buku yang saya baca adalah novel.
Memang, novel termasuk buku. Namun sekarang saya merasa bahwa rasa "haus" saya tidak bisa lagi dipenuhi hanya dengan novel. Karena novel itu imajiner. Yang terkadang membuat lupa daratan. Padahal, masih ada realita kehidupan yang harus dihadapi #duhberat. Bertepatan dengan hadirnya pemikiran seperti itu, suatu hari teman saya sebut saja A sedang bercakap-cakap dengan saya. Tak ada hujan tak ada badai, dia menyodorkan sebuah buku yang masih berplastik. Gress! Baru! Fresh from the oven!
Sumber: http://imanshoppe.com/index.php?route=product/product&product_id=1702 |
Penulis : Muhammad Syukri
Halaman : 208 hlm
Dimensi : 14 x 20 cm
Berat : 163 Gram
Tahun : 2015
ISBN : 978-602-7820-38-8
Kategori : Pergaulan
Harga : Rp 34.000
"Lulu, kamu mau baca buku ini? Bagus loh, aku ini dikasih baru padahal aku udah baca. Hehe"
Saya cukup terkejut. Didalam hati saya merasa tidak tertarik karena:
1) Bukunya tipis
2) Covernya kurang menarik, dan yang ketiga
3) Bukan novel. (ini sebenarnya alasan utama haha)
Sempat ragu-ragu, akhirnya saya termakan dengan kalimat "bukunya bagus". Iya, semudah itu saya tergoda :)) Teman saya itu juga terbilang suka baca buku sih, jadi ya percaya aja sama dia. ehek. Saya pun memutuskan untuk membacanya.
Sinopsis buku:
“Semasa kuliah,” ujar seorang ayah pada anaknya yang mengalami kejenuhan dalam belajar, “ayah punya seorang rekan. Sewaktu ujian lisan dengan profesor, dia harus mengulang sampai lebih dari 5 kali, padahal teman lainnya hanya mengulang maksimal 3 kali. Akhirnya, dia hanya bisa tersenyum pahit saat yang lain merayakan wisuda. Sekian tahun berlalu, tersiar kabar bahwa rekan ayah berhasil menjadi birokrat kampus. Karena kesibukannya, ia diberi hak untuk memiliki asisten pribadi. Siapa yang dia tunjuk? Dia menunjuk profesor yang dulu tidak meluluskannya lebih dari 5 kali!”
Lalu sang ayah berpesan, “Nak, Allah telah menciptakan dua keadaan bagi hamba-Nya. Keadaan pertama adalah syukur, yang kedua adalah sabar. Saat kamu di atas, bersyukurlah agar Allah tidak menjatuhkanmu ke tempat hina. Sedang kala di bawah, bersabarlah agar Allah selalu meridhaimu. Karena itu, ayah tak pernah peduli kamu berada di mana. Melihatmu bisa memainkan peranmu dengan baik saja, ayah sudah sangat bersyukur.”
Selepas malam itu, sang anak tak hanya mampu menyelesaikan studinya, melainkan juga mampu menorehkan capaian-capaian yang luar biasa!
Buku ini mengajak kita untuk bernapas, yang di setiap tarikannya akan ada inspirasi-inspirasi yang terserak. Juga ada hikmah pada setiap lajur kisah. Pun ada bersitan-bersitan ide yang patut kita telaah. Mari selami setiap detail goresannya. Berani?
Saya tidak pernah menduga kalau kemudian lewat buku ini saya merasa "ditegur". Jadi, buku ini sebuah buku...apa ya? Kumpulan kisah berhikmah dari seorang Muhammad Syukri, ketua FSLDK (Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus) berjudul "Hidup Sekali Jangan Merugi". Di salah satu kisahnya, ada yang berjudul "Jam 25".
Ringkasan tulisan berjudul "Jam 25" begini:
"Saya mempunyai seorang junior di kampus, mahasiswa kedokteran yang juga merupakan aktivis. Namun begitu, hebatnya dia banyak melahap buku di luar buku kedokteran, bidang yang dipelajarinya. Saya pun bertanya bagaimana caranya menghabiskan buku-buku itu ditengah kesibukannya. Jawabannya adalah jam 25. Iya, jam 25. Dimanakah letak jam itu? Ternyata, jam itu terletak di waktu-waktu yang sedikit tapi seringkali berulang. Contohnya adalah 10 menit saat menunggu dosen masuk, 15 menit saat menunggu pesanan makanan datang, 5 menit saat menunggu rapat dimulai. Jika kita teliti, banyak waktu-waktu sedikit namun berulang yang ternyata bisa kita isi dengan membaca. Bandingkan bila hanya dihabiskan dengan bermain sosial media, bercakap-cakap yang tidak ada manfaatnya. Lebih banyak mana manfaatnya, coba?"
((kurang lebihnya begitu))
Kemudian saya mengiyakan dalam hati. "Eh? Iya juga ya, ternyata. Dosen yang kadang kehadirannya terlambat dari jadwal yang telah ditentukan, daripada ngobrol mending baca buku."
Disitu saya mulai berpikir, sepertinya ini bagus untuk diterapkan. Dan, mulailah saya untuk kembali bersemangat membaca buku. Jika saya tidak membawa buku berbentuk fisik, maka saya membacanya lewat smartphone. Entah itu novel maupun buku, bukan masalah. Berkat jam 25 itu pula, saya berhasil menghabiskan satu novel berbahasa Inggris pertama saya: Paper Town-nya John Green. Yak novel lagi,, heheh. Selain buku yang dipinjamkan teman saya itu tentunya :))
Well, mungkin ini termasuk "keajaiban" membaca buku yang saya temukan. Kalau kalian, punya cerita apa tentang buku? Eit, jangan lupa yuk, ikutan Giveaway for Booklovers di blognya Anne Adzkia. Banyak loh hadiahnya, buat booklover dijamin ngiler! :3
Saya juga pembaca novel mbak. Kalau buku-buku nonfiksi kadang "agak terpaksa" bacanya, hehehe. Makasih udah berpartisipasi dgn GAnya ya mbaak.
ReplyDeleteDuh samaan seleranya ya hihihi siap mbak makasih udah berkunjung :D
DeleteBenar juga yach, tiap kita pasti ada jam 25. Yang nga kita sadari jam-jam itu ternyata kalau dijumlahin jadi banyak. hehehe. salam kenal yach mbak dan terima kasih sudah diingatkan. Semoga menang giveaway nya.
ReplyDelete