Kayaknya baru kapan hari nulis tentang PBL. Tau-tau PBL-nya udah kelar aja. Padahal niat awal mau diceritain tiap minggu kegiatannya itu ngapain. Emang ya ekspektasi dan realitas nggak bisa disatukan *sigh*.



Untung ada pembaca setia lol yang nagih cerita saya. Jadinya termotivasi buat nginget-inget lagi dari awal. Perlukah saya menyapa pembaca ini di blog? Hahaha. Faizah, dibaca sampe kelar ya tulisan ini!

So, PBL dilaksanakan selama 5 minggu. Sabtu Minggu pun juga tetep berangkat, di aturan awalnya. Tapi namanya juga mahasiswa, ada aja caranya buat cari celah refreshing. Trust me, it feels suffocating being in the same place with same people for 35 days.

Di awal mulai PBL kami udah mengatur nih timeline kegiatan. Minggu pertama ngapain, kedua ngapain, daaan seterusnya. Kami udah berusaha banget buat melakukan timeline itu secara serius. Walaupun akhirnya agak-agak melenceng dikit. Nggak terlalu jauh kok. All is well.

Minggu pertama

Hari pertama yang seharusnya Senin digeser karena bertepatan dengan persiapan kedatangan Jokowi ke kampus. Saat Jokowi datang, kami nggak bisa lihat. Sedih deh hilang kesempatan buat dapet sepeda! Haha. Kami mengikuti upacara penerjunan tim PBL di Kantor Kecamatan Tembalang. Disitu kami dipertemukan oleh bapak camat Tembalang dan lurah Kedungmundu. 

Selesai upacara langsung meluncur ke TKP alias posko. Apa yang ada di benak kalian saat denger kata “posko”? Rumah? Ternyata...bukan sodara-sodara. Yang kami tempati ini Balai Kelurahan. Kebayang nggak, kayak gimana? Semacam aula besar dan luas buat pertemuan warga. Kayak gitu. Kenapa dapet di Balai, karena rumah dinas Pak Lurah yang ada disampingnya dipake untuk posko KKN universitas swasta. It’s okay lah. Selama ada Wi-Fi dan colokan kami bisa bertahan hidup kok lol kids jaman now.

Budayakan kula nuwun

Minggu pertama kami sowan ke kelurahan, FKK (Forum Kesehatan Kelurahan), Gasurkes (Tenaga Surveilans Kesehatan), dan Ketua Pokja 4. Ditambah ke Puskesmas Kedungmundu juga sebagai kepanjangan tangan pemerintah yang ada di masyarakat. Khususnya kelurahan Kedungmundu. Kulo nuwun semacam ini tuh perlu banget lho biar kita bisa diterima di masyarakat. Nggak yang tiba-tiba dateng terus minta ini itu.



Saya yang diamanhi jadi Penanggung Jawab bidang Gizi ikut juga untuk dateng kerumah Ketua Pokja 4. Eh tau nggak Pokja 4 itu apa? Jadi gini kan di PKK itu ada banyak pokja yah. Nah pokja 4 ini yang ngurusin kesehatan masyarakat kayak posyandu, KB, dll. Senangkep saya gitu sih. Correct me if I’m wrong ya! Dari pembicaraan dengan beliau, yang paling saya inget itu satu. Bahwa untuk jadi kader kesehatan (khususnya posyandu) harus MAU dan MAMPU.


Maksudnya gimana? Gini, kenapa harus MAU? Yha kalo nggak mau nantinya ngerjakan tugas nggak ikhlas dong. Ujung-ujungnya program nggak jalan. Kenapa juga harus MAMPU? Karena bakal ada saat-saat dimana harus mengeluarkan dana pribadi. Kedua hal ini saling berkait, nggak bisa dipisahkan. Dan di lapangan realitanya nggak gampang nemuin kader yang punya 2 karakter ini.

Maka dari itu berterima kasihlah kepada kader di wilayah kalian yang udah mau bersuka rela untuk kerja sosial demi kesehatan masyarakat yang lebih baik!

Berharganya data

Nah selain ke masyarakat kami juga ke puskesmas untuk meminta data pencatatan terkait Gizi dan KIA. Jangan dibayangkan sekali minta langsung dapet data yang bisa langsung dipake. No! Saya nggak ingat berapa kali harus bolak-balik ke puskesmas saking seringnya demi hal yang bernama “data” ini.

Perihal data ini emang lucu-lucu menggemaskan, kalo nggak mau dibilang bikin bingung. Haha. Awalnya kami berniat minta rekap 3 tahun bekalangan aja. Tapi tuh susah banget kayak ada data yang pencatatannya per bulan. Ada data yang pencatatannya per tahun. Ada data yang ditulis tangan. Ada yang udah rapi terketik. Belum lagi saat di-cross check ke data kader, 

“Loh kok angkanya beda?” *garuk-garuk tembok*

Disitu saya merasa sedih gaes. Ujung-ujungnya kami pake data tahun 2017 aja dengan analisis tiap bulan mulai Januari-September.

Udah dapet tuh data mentah. Lanjut ke pengolahan. Masalah pengolahan data ini nggak bisa maen-maen. Ibarat pondasi rumah, sekali aja ada salah maka bangunan diatasnya nggak bakal bertahan lama. Di PBL ini juga seperti itu. Semua langkah-langkah harus dilakukan secara BERURUTAN. Nggak boleh part ini diskip dulu baru ke part lanjutnya. Nggak bisa. Alhamdulillahnya di kelompok saya ada anggota yang paham tentang data karena beliau posisinya udah kerja. Di puskesmas pula.


Berhati-hatilah saat menggunakan data. Dengan data ini literally bisa melakukan apa aja. Makanya nggak heran start-up kayak Go-Jek banyak yang minat. Karena mereka punya apa? Data. Data tentang konsumen, behaviornya, their interest, dll. Eh maapkan jadi kemana-mana ya lol.

Menganalisis data

Masih kuat bacanya nggak? Haha. Ternyata panjang kali lebar banget yah cerita PBL ini. Padahal baru minggu pertama loh *terharu*.

Data mentahan yang didapat diolah untuk dibuat analisis GAP, tren, dan besar masalah. Ketiga analisis ini diperlukan karena dalam melihat masalah kesehatan nggak bisa dilihat Cuma dari besar masalah aja, misalnya. Harus dari berbagai sudut pandang. Kalau Cuma satu sudut pandang aja dikhawatirkan pemilihan masalahnya nggak sesuai dengan apa yang dialami masyarakat di lapangan. Nah loh, ribet ya? Iyalah.


Ada tuh dosen yang bilang, kadang orang bukan nggak ngerti cara penyelesaian masalah. Tapi pilih yang mana tergolong masalah aja belum tepat. Ya gimana tau penyelesaiannya ya kan? 

Buat saya yang peminatannya bukan di statistik ataupun administrasi kesehatan, I can say it was hard. It wasn’t what I learned before. Huhu. I wanna cry. Merasa kayak nggak tau apa-apa gitu. I feel insecure at that time. Tapi ya mau gimana lagi, yang namanya Sarjana Kesehatan Masyarakat emang dituntut serba bisa. So I decided to learn, learn, and learn again. 

Selesai analisis data, berlanjut ke menentukan 1 aja masalah yang dianggap benar-benar masalah. The real problem we have to solve menggunakan metode MCUA. Silahkan cari tau sendiri metode ini kayak gimana ya if you’re curious enough *wink*

Metode ini nggak yang ribet banget gitu, lebih menitikberatkan dari kesepakatan kelompok aja. Dan, dari semua proses diatas keluarlah satu masalah yang harus diselesaikan. Cling! Kurang Energi Kronik (KEK) pada ibu hamil.

***

Hectic amat yak minggu pertama? Baru sadar juga nggak terlalu banyak foto related yang bisa dimasukin disini. Kebanyakan foto aib anak-anak lol. Lanjutannya di postingan selanjutnya aja biar nggak kepanjangan. See you!
Di tepi sungai Barito
Terlahir dari keluarga yang tergolong biasa-biasa saja membuat saya nggak berani memiliki banyak keinginan. Saya masih inget betul kala SMP keinginan saya Cuma satu, tas baru yang lebih bagus. Tas yang saya pakai saat itu sudah mulai rusak. Kelihatan dari resletingnya yang buat ditutup aja harus menggunakan peniti. Padahal di saat yang sama, teman saya yang lain kebanyakan pengennya punya handphone yang ber-trackball. Pasti tahu kan yah handphone yang saya maksud? J

Pun begitu saat SMA. Ada satu hal yang membuat saya iri setengah mati. Teman dekat saya bilang bahwa dia akan travelling ke China bersama keluarganya. Bagi saya , bahkan sekedar naik pesawat pun udah menjadi hal yang istimewa. Biaya tiketnya tinggi dan rasa-rasanya nggak bakal terjangkau. 

Beranjak kuliah, Alhamdulillah saya merasa perekonomian keluarga bisa dibilang meningkat.  Naik pesawat bukan lagi hal yang mewah. Dimulai dari kakak saya yang berkesempatan untuk terbang ke Thailand (dimana yang membiayai ayah saya), ke Malaysia untuk PPL, dan kakak satunya lagi sudah pernah menginjakkan kaki di Papua. Lalu ayah saya merasakan juga dengan tujuan umroh.

Saat itu saya masih bertanya di dalam hati, “Kapan ya aku bisa merasakan hal yang sama?”.

Jujur saja. Saya jarang sekali bepergian jauh. Ada alasan syar’i yaitu harus didampingi laki-laki dari keluarga ketika pergi. Bukan jadi masalah memang saat ada yang punya waktu luang untuk menemani. Sayangnya, lebih sering kakak atau ayah saya nggak punya waktu untuk menemani saya bepergian. Jadilah saya orang yang disebut “anak rumahan”.

Kesempatan itu akhirnya datang

Tapi, hidup memang penuh kejutan ya. Saat saya nggak terlalu berharap-harap, kesempatan itu justru datang. Tepatnya di semester 6 kemarin. Ceritanya, kami mahasiswa ini harus mengikuti kegiatan magang di instansi tertentu. Pilihannya dibebaskan pada mahasiswa. Awalnya saya sudah mengincar satu instansi di kota kelahiran, Semarang. Entah angin darimana, saya berpikiran, “Kenapa nggak magang di Banjarmasin aja?”

Pilihan Banjarmasin terbersit karena itu tempat terjauh yang bisa saya jangkau. Kenapa? Tentu saja karena ada keluarga disana, yaitu paman (adik kandung ibu). Dengan memberanikan diri, saya mengajukan keinginan ini ke ayah. Beliau adalah pemegang keputusan terbesar di keluarga saya. Dag dig dug..rasanya. Takut ditolak. Huhu.

Syukur Alhamdulillah, beliau mengiyakan. Malah yang biasanya dicecar pertanyaan ini itu, beliau santai saja memperbolehkan. Belakangan, beliau justru menelepon salah satu koleganya di Kalimantan Selatan untuk berjumpa. Meet up, kata kids jaman now. Mungkin ini yang dinamakan pucuk dicinta, ulam pun tiba.

Hal pertama yang saya lakukan, jelas mencari tiket. Saya pilih pesawat untuk ke Banjarmasin. Sebenarnya ada pilihan melalui jalur laut. Tapi saya nggak pengen terombang-ambing di laut dalam waktu lama. Kayaknya belum sanggup untuk mengatasi mabuk laut. Di saat seperti itu, berpikirlah, “Mau beli tiket di Traveloka!”

Terimakasih kepada kakak-kakak dan teman-teman yang udah sering terbang kesana kemari. Saya nggak perlu ribet datengin travel agent satu persatu. Orang-orang ini udah sering cerita beli tiket di Traveloka itu nggak ribet. Tanpa pikir panjang, saya unduh aja aplikasinya di gawai.

Kenapa Traveloka?

Meskipun baru pertama kali menggunakan aplikasinya, saya nggak menemukan kesulitan yang berarti. It was user-friendly. Jauh dari kata yang sering dihindari banyak orang: ribet. Untuk cari tiket ke Banjarmasin gampang aja. Tinggal pilih bandara di kota asal. Saya pilih satu-satunya bandara di Semarang: Ahmad Yani. Tujuannya: Bandara Syamsudin Noor Banjarmasin. Dan jangan lupa tanggal penerbangannya. Tanggal 16 Juni saya terbang karena tanggal 19 Juni udah harus mulai magang.

Saya beli 2 tiket untuk sendiri dan ayah yang memang akan mengantar. Ditambah 1 tiket lagi untuk kepulangan ayah di hari berikutnya. Dengan hati riang gembira saya membayar ketiga tiket ini. Mission completed, pikir saya.

Nggak taunya setelah bayar, ayah saya tiba-tiba nanya, “Tiket pulangnya bisa diganti hari nggak?”. Euggg, dhuarr! Kenapa baru bilang setelah bayar. Huhuhu. Saya bilang sama ayah, “Dicoba dulu deh, kayaknya bisa”. Padahal di dalam hati nggak tahu gimana caranya. Hiks. Maklum yah ini pertama kalinya pesan tiket pesawat eh tau-tau diminta buat reschedule.

But thanks to internet. Saya beranikan diri buat reschedule lewat aplikasi Traveloka yang udah saya unduh tadi. Ternyata sekali lagi, sama sekali nggak ribet! Sesuai sama fitur yang disebutkan: easy reschedule.

Klik aja “Reschedule”, pilih hari yang diinginkan. Terakhir, transfer kekurangan biaya tiket (jika harga tiket lebih tinggi). Biaya yang harus saya tambah sebesar Rp 400.000. ada setengahnya dari harga tiket di awal. Wajar sih, karena tanggal itu memang menjelang Lebaran. Banyak orang rantai di Kalimantan yang mau pulang ke Jawa. Itu asumsi saya yah.


Sebelum mentransfer untuk menambah biaya, mata saya tertuju pada tulisan, “Punya voucher?”. Wah, kok baru kebaca ya! Hihi. Baru sadar ternyata ada promo yang bisa diambil. Saya iseng aja cari dan voila! Dapet potongan Rp 100.000 pake kode voucher mudik. Hihi. Lumayan buat beli kuota tuh. Hestek kids jaman now.

Akhirnya merasakan penerbangan pertama!

Tiket udah di tangan, hati rasanya plong. Yang tersisa cuma mengepak barang bawaan aja. I’m soo excited! 

Saat hari H saya cuma perlu nunjukin e-ticket aja di gawai. Andaikan petugasnya tahu tangan saya gemeteran saking nervous-nya mau terbang pertama kali. Pasti udah diketawain deh. Hihi. 

Jadi gimana rasanya naik pesawat? Pusing cyin! Hahaha. Belum terbiasa sama ketinggian kali ya. Yang dirasain pusing dan excited campur aduk jadi satu. Saking pertama kalinya banget, saat pramugarinya menjelaskan tentang keamanan penerbangan pun saya dengarkan dengan khusyu’. Hahaha.

Birunya langit Kalimantan
Alhamdulillah. Nggak akan terlupakan pokoknya pengalaman pertama kali terbang. Kata paman saya nih, biasanya kalo udah sekali naik pesawat, kedepannya bakal sering-sering. Percaya nggak? Yah saya sih percaya aja. Toh bisa jadi pemicu buat saya untuk keluar dari zona nyaman dan jalan-jalan ke tempat baru lagi yang belum pernah dikunjungi.

Lewat Traveloka, saya #Jadibisa merasakan naik pesawat terbang pertama kalinya. Dan, pastinya menyenangkan!

Kalo kalian, inget nggak pengalaman terbang pertamanya? J
Siapa yang baru tau kalo tanggal 11.11 kemarin Harbolnas a.k.a Hari Belanja Online Nasional? Saya! Bingung nggak sih saya kira Harbolnas itu 12.12 nggak taunya pas 11 November kemaren juga banyak e-commerce yang bikin diskon Harbolnas. 


Saya pun nggak mau ketinggalan dong meramaikannya. Soalnya udah tau banget nih barang-barang apa yang diincer. Haha. Walaupun pada akhirnya nggak ada promo yang klik di hati. Rasa-rasanya kok ini Harbolnas nggak kerasa beneran diskonnya. Atau udah dinaikin baru dipotong seakan-akan dikasih diskon? Entahlah :/

Karena hal itu pula lah akhirnya saya cuma iseng aja beli di salah satu e-commerce yang belum pernah saya jajal. E-commerce ini sering banget menayangkan iklannya dengan hestek #DijaminOri. Udah ngeh saya ngomongin e-commerce mana? Yup! JD.ID! Saya tertarik aja nyoba disini karena sempet baca di blog orang yang dia itu beruntung banget. Bayangin aja yah waktu Harbolnas dia dapet Lenovo Yoga atau apalah laptop Lenovo gitu seharga Rp 99.000 doang! Parah banget nggak tuh masih ada kembalian Rp 1.000 buat parkir *eh.

Makanya saya nyoba dongg. Belinya yang murah meriah aja. Saya beli Miniso Earphone In Ear Blue. Tertarik sama Miniso setelah dia sponsorin drama While You Were Sleeping-nya Lee Jong Suk! LOL.


Katanya sih original di website Jd.Id-nya karena yang menyediakan official store-nya. Itu pun murah banget nget, harga aslinya Rp 30.000 masih didiskon 50% jadi Rp 15.000 aja saya bayarnya. Seharga pempek kapal selam seporsi :"D

Pertama saya bikin akun dulu nih di JD.ID. Di awal ini aja udah bikin kezel. Gimana enggak? Untuk verifikasinya lewat sms dikirim ke nomor hape. Eh sms-nya nggak masuk-masuk lama banget sampe bingung ini tuh harus ngulang apa gimana? Liat aja nih sampe ada berapa kali sms yang masuk ke inbox saya. Disitu udah mikir haduh ribet amat sih...


Karena sebelumnya udah pilih barang, tinggal konfirmasi alamat dan pembayaran. Di kolom alamatnya nih bermasalah lagi. Kode pos-nya keluar secara otomatis. Bagus kan otomatis? Enggak! Kode pos saya ini ngawur banget. Nggak tau itu kode pos mana. Dan nggak bisa diganti secara manual. Lah kan kasihan sama kurirnya nanti yang nganter kebingungan, huft. Saya putuskan di kolom alamat yang bisa diisi secara manual tetep ditulis kode pos yang bener. 

Lanjut ke pembayaran. Ini nih asyik. Nggak pake ongkos kirim dong! HAHA. Nggak tega ngebayangin kurir nganter barang seharga Rp 15.000 doang. Maapkan saya yah bapak :")

Jum'at 10 November saya check out dan Sabtu 11 November melakukan pembayaran lewat transfer bank.

Ada minus lagi nih. Selesai check out sampai pembayaran nggak ada notifikasi lewat sms. Hanya ada di email. Itu pun nggak langsung diterima. Saya sampe ngirim email ke cs-nya buat memastikan pembayaran saya udah diterima atau belum.

Pengirimannya dilakukan oleh ekspedisi milik Jd.id sendiri kayaknya. Namanya j-express. Disitu kita bisa ngecek lewat resi udah sampe mana. Kurang lebihnya sama seperti ekspedisi pengiriman lain. Estimasi pengiriman untuk pulau Jawa tertulis 3-5 hari. Di hari Jum'at 17 November barang saya udah sampe dong! Yeayy. Agak lama ya? Tapi saya asumsikan aja sabtu minggu emang libur. Dihitung-hitung sih tetep pas 5 hari pengirimannya.

Penampakan barangnya kayak gimana?
Lucu banget pengen ngakak. Bagus dikirim pake kardus JD.ID. Yang lucu adalah...kardusnya gede banget padahal earphone-nya nggak seberapa gede ukurannya :"D kemasan earphone-nya masih dibungkus lagi pake bubble wrap. Aman kan, laff.


Overall, nggak mengecewakan sih belanja disini. But still I would love it kalau saja JD.ID mau terus memperbaiki pelayanannya. Oiya di JD.ID ini ternyata sering bagi-bagi voucher. Saya aja udah dapet 4 voucher sendiri. Sayangnya udah kadaluarsa sih mau beli apa lagi nggak butuh. Kan belanja sesuai kebutuhan bukan keinginan *pencitraan*. 

Next post bakal ngereview si Miniso earphone ini apakah memuaskan? Stay tune!

Demi mempersiapkan wisuda tahun depan (InsyaAllah, Amin!) saya mulai mempersiapkan persyaratan yang harus dipenuhi. Salah satunya harus punya sertifikat TOEFL. Di universitas kalian gitu juga nggak sih? Saya baru taunya saat masuk semester 5? Atau 6. Tahun ketiga kuliah deh. Sebelum-sebelumnya ngerasa bodo amat lah tes TOEFL nanti-nanti kan bisa. Eh dari grup chat ada yang ngomongin masalah tes TOEFL ini.


Tentang tes TOEFL untuk persyaratan wisuda di universitas saya ada beberapa yang saya tau. Pertama, skor minimal 400. Ini untuk jenjang sarjana. Untuk jenjang magister skor minimal 450. Ada yang bilang skor ini termasuk rendah. Secara Undip kan (katanya) masuk top 5 PTN di Indonesia. Masa sih cuma 400? Mengutip dari wikipedia nih skor penilaian TOEFL minimum 310 dan maksimum 677 untuk model Paper Based Test. Oh iya, masa berlaku sertifikatnya setahu saya yaa dua tahun setelah diterbitkan. Setelah lewat dua tahun harus tes ulang.

Kedua, sertifikat yang diterima saat wisuda HANYA boleh dari SEU Undip. Apa itu SEU Undip? Service English Unit ini suatu lembaga yang berada di Fakultas Ilmu Budaya Undip. Lembaga ini menyediakan fasilitas Tes TOEFL beserta kursusnya. Mahasiswa bisa pilih nih mau ikut tes-nya aja atau ikut kursusnya dulu sebelum tes. Kan ada ya yang nggak pede buat tes kalau nggak belajar di bimbel gitu. 

Cara untuk daftar Tes TOEFL SEU Undip ini juga gampang banget, kok. Tinggal dateng aja ke lokasinya di Undip Pleburan. Pake Google Maps bisa ditemukan buat yang baru pertama kali. Saya pun begitu. Daftarnya (kalo gak salah yaa heu) pake Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) dan membayar biaya pendaftaran sebesar Rp 75.000. Harga segitu termasuknya murah nggak sih buat Tes TOEFL? Soalnya yang saya denger di lembaga swasta bisa menyentuh 200ribu-an. Entah bener apa enggak.

Saya pribadi daftarnya lewat BEM FKM Undip. Kenapa? Nggak mau repot, bok. Kuliah di Tembalang harus turun ke bawah itu lumayan makan waktu. Hehe. Emang sih agak lebih mahal, bayarnya Rp 85.000. Beda Rp 10.000 ya lumayanlah worth dengan waktu dan tenaga yang dihemat. Nggak enaknya daftar di pihak ketiga cuma satu, harus menyesuaikan tanggal sama mereka. Nggak boleh milih. Beda kalo kamu daftar di SEU Undip langsung. Bisa pilih tanggal dan waktu yang diinginkan.

Alhamdulillah-nya sih saya bisa di tanggal itu, 25 Oktober 2017. Meskipun ada PBL, nggak apa ijin sebentar. 


Waktu yang dijadwalkan untuk tes saat itu 11.00 WIB. Saya sampai sana sekitar setengah jam sebelumnya? I'm the type of person who choose to come early than late. Nggak suka aja dateng mepet-mepet gitu. It's okay nunggu sebentar daripada gugup karena terlambat. Eh sampai disana ternyata molor banget, hhh jam karet Indonesia banget. Kzl.

To be honest, it was my very first time taking TOEFL test. Dulu-dulu sering diajakin temen males. Lebih tepatnya takut skornya nggak sesuai ekspektasi hahaha. Gengsi amat lebih tinggi dari Burj Al Khalifa. Saya cuma pernah tes masuk SMA dulu, TOEIC kah namanya? Itu hasilnya nggak di-share berapa. Udah tibat-tiba yak diterima gitu aja. Alhamdulillah sih ya. 


***

Saat hari H, saya daftar ulang nih. Kemudian masuk ke ruang ujian berkapasitas 40 orang. Ruangannya kayak ruang kuliah biasa nggak terlalu luas, nggak sempit juga. Duduknya udah diatur sesuai nomor urut. Sedihnya saya dapet tempat di tengah. Untuk ujian saya prefer duduk di depan aja. Nggak terdistraksi dengan orang didepan kan konsentrasi lebih fokus.

Sebelum ujian dimulai ada petugas yang membacakan peraturan. Selain itu dia juga memberikan informasi. Beberapa yang saya inget:

➪ Sediakan alat tulis berupa pulpen dan pensil. Pulpen untuk mengisi identitas. Pensil untuk mengisi lembar jawaban dengan melingkari dan diarsir macam LJK.
➪ Hasil ujian keluar satu minggu setelah pelaksanaan. Sertifikat keluar dua minggu setelah pelaksanaan.
➪ Jika hasil tes dibawah minimum score 400 maka peserta bisa langsung remidi dengan membayar Rp 25.000. Setiap peserta diberikan 3 kali kesempatan remidi. Nah harus diperhatikan nih, daftar remidinya segera ya. Kalo enggak nanti dikenakan harga daftar baru sebesar Rp 75.000.

Saat ujian saya sempet persiapan materi sedikit. Sekedar baca-baca contoh soalnya aja sih. Berapa menit? Nggak ada 15 menit lol. Udah mikir, "Yaudahlah anggep aja kayak ujian Bahasa Inggris biasanya". Saya suka-suka aja sama Bahasa Inggris jadi nganggepnya selow aja lah -_- ada temen yang baca kamus sebelum ujian. Katanya mending memperbanyak kosa kata. Saya udah nggak ada mood buat belajar jadi malah makan snack yang disediakan aja dong hahaha.

Ujian pun dimulai.
Ada 3 jenis soal yang harus dikerjakan. Listening, Writing, dan Reading. Soal Listening dikerjakan di awal. Dengan 50 soal yang harus dikerjakan. Di bagian ini saya merasa...hopeless. Gimana ya, saya nggak bisa menangkap maksud dari soal dari speakernya. Sounds pathetic kalau saya kasih alasan suaranya nggak jelas padahal mah emang jarang dengerin conversation hahaha. Saya lebih suka tes pake headphone gitu jadi nggak terdistraksi dengan lingkungan sekitar. Pokoknya ngerjainnya udah..yaudahlah pasrah.

Karena merasa gagal di Listening, saya kerjakan 40 soal Writing dan 50 soal Reading semaksimal mungkin. Serius loh. Sampe yang dibaca berulang kali untuk meyakinkan diri jangan sampai salah. Writing ini berkisar di grammar ya. Peserta tes harus memilih mana kata yang seharusnya perlu diperbaiki. I feel confident di bagian ini. Ternyata banyak baca artikel bahasa Inggris lumayan membantu loh. Terutama baca media kayak CNN atau BBC. Kan struktur penulisannya lebih teratur daripada baca artikel Soompi misalnya. Tau kan, Soompi? Hahaha.


Di bagian Reading, masyaAllah...panjang-panjang amat yak bacaannya. Ku ingin menangis gaes. Sungguh. Tes nya itu bertepatan dengan jam makan siang kan. Bayangin perut udah keroncongan minta diisi tapi otak diperes dulu buat ngerjain soal. Lemes aja udah. Soalnya kayak ujian bahasa Inggris biasa. Dari bacaan itu intinya apa? Di line ini ada kosakata X padanan katanya apa? Something like that.

Musuh terbesar saat tes TOEFL ini mungkin waktu ya. Kalo nggak pinter mengkalkulasi waktu bisa-bisa waktu habis sebelum menyelesaikan jawaban. Waktu yang disediakan "hanya" 2 jam untuk 140 soal yang menyiksa. Keluar dari ruang ujian udah nggak ada energi buat ngapa-ngapain. Haha.

***

Alhamdulillah wa syukurillah pengumuman hasil udah keluar. Skor saya berapa tebak? 500+. Not bad untuk orang yang nggak ada persiapan jauh-jauh hari. Petama kali pula. Di luar ekspektasi banget sih. Harapan saya di awal sederhana aja, plis jangan sampe remed! Hahaha. Ya kan mubazir harus keluar uang lagi, luangin waktu lagi nyempet-nyempetin turun ke bawah. Haduu, it's a big NO! 

Enaknya daftar di BEM FKM Undip ini nih. Nggak perlu ke SEU Undip langsung buat lihat score-nya. Sertifikatnya pun juga bisa diambil aja di kampus Tembalang. Sungguh ku merasa tidak salah pilih *apa sih*.

Buat kalian-kalian yang mau Tes TOEFL saya kasih tips ala-ala ya lol. Simpel aja sih. Karena ini di SEU Undip (katanya) soalnya masih kategori mudah, belajarnya juga nggak perlu yang ngoyo banget. Apalagi kalo modelnya cuma ngejar sertifikat lulus aja buat wisuda. Sering-sering aja baca tulisan berbahasa Inggris. Baca buku berbahasa Inggris lebih bagus lagi. Setiap hari satu halaman juga udah cukup. Kenapa? Disitu kita bisa nih belajar tata bahasanya plus nambah kosa kata baru.

Untuk conversation sering-sering nonton video berbahasa Inggris aja. Semacam TED atau lainnya. Jangan pake tuh subtitle. Oh, jangan sering-sering juga pake earphone/headphone. Bikin pendengaran menurun. Lagian tes-nya nggak pake kedua alat itu. Sekalian membiasakan aja.

Semoga bermanfaat!